Jakarta, NU Online
Pendidikan agama dan keagamaan di wilayah perbatasan negara kita masih memprihatinkan. Kualitas pelayanannya masih rendah, hal ini diperparah dengan beragam kompleksitas permasalahan yang dialami saudara-saudara kita diperbatasan, demikian diungkapkan Kepala Badan Litbang dan Diklat Abdurrahman Mas’ud saat menjadi pembicara pada “Seminar Pendidikan Agama dan Keagamaan di Wilayah Perbatasan Negara” yang diselenggarakan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Balitbang dan Diklat Kemenag, di Auditorium HM Rasjidi, Gedung Kemenag MH Thamrin No. 6, Jakarta, Kamis (5/11)
Selain Kabalitbang dan Diklat, hadir sebagai pembicara adalah Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Malik Haramain dan Staf Ahli Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Rahmat T Bahruddin. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir dan Dirjen Pendis Kamaruddin Amin.
“Tahun 2012, kami melakukan penelitian di beberapa daerah, seperti Distrik Sota, Distrik Arso, Distrik Muara Tami, Sebatik, Pulau Nunukan, Atambua Selatan, Atambua Barat, Rote Ndao, Belu, Sangihe dan Talaud. Kami mengukur sejauh mana ketercapaian 8 Standar Nasional Pendidikan untuk madrasah dan memotret kondisi pendidikan agama jenjang pendidikan formal untuk semua agama, serta pendidikan keagamaan. Secara umum, hasilnya menunjukkan bahwa kondisi pendidikan agama, pendidikan madrasah dan pendidikan keagamaan di wilayah timur perbatasan masih sangat memprihatinkan dan membutuhkan penanganan khusus,” urai Masud seperti dikutip dari laman kemenag.go.id.
Ia juga mempresentasikan hasil penelitian pada 2013 di Sabang, Bengkalis, Bintan, Bengkayang, Batam dan Entikong dengan fokus peneliant yang sama.
“Di daerah ini, kondisi pendidikan agama di madrasah, pesantren dan pendidikan keagamaan lainnya jauh lebih baik. Meski demikian, masih butuh penanganan khusus,” tegas Kabalitbang.
Sementara itu, Malik Haramain melihat, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) kurang efektif, karena di bawah Kemendagri. Ia melihat masalah perbatasan harusnya dikelola setingkat menteri, bahkan harusnya oleh menteri koordinator, jika tidak, maka sulit bergerak, karena sebuah badan di bawah kementerian, tidak mampu berkoordinasi dengan baik dengan banyak kementerian. Ia melihat, banyak masalah di perbatasan yang harus digarap, karena ini menyangkut banyak hal.
“Kita butuh SDM yang hebat dan mempunyai jiwa nasionalisme tinggi, karena banyak masyarakat di perbatasan seakan merasa bukan warga negara Republik ini,” kata Malik.
Sedang Rahmat T Bahruddin melihat betapa pentingnya kehadiran energi di wilayah perbatasan. Dalam pandangannya, sejak era Reformasi, wajah perbatasan kita dinilai lebih baik, tapi ini tidak cukup, karena kita masih kalah dari negara lain. Kita harus menyiapkan energi yang cukup di daerah perbatasan kita. PLN harusnya tidak melihat pada untung-rugi, karena ini menyangkut tentang kehadiran negara.
“Ini tentang identitas dan kedaulatan negara. Jika ada energi, hampir semua peradaban bisa dilakukan di daerah perbatasan,” tegas nya. Red: Mukafi Niam
Sumber: NU Online